Setelah Hadi Poernomo Tersangka, Siapa Berikutnya?

Ketua BPK Hadi Poernomo
Sumber :
  • ANTARA/Puspa Perwitasari

VIVAnews - Karir Hadi Poernomo bak roda pedati. Setelah hampir empat dekade moncer di bidang keuangan dan perpajakan, pria kelahiran Pamekasan, Jawa Timur itu mencapai puncak karirnya sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2009-2014.

Siapa sangka, di penghujung karirnya, Hadi Poernomo justru harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Baca selengkapnya: )

KPK menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus korupsi permohonan keberatan pajak PT Bank Central Asia (BCA) Tbk. Hadi menjadi tersangka dalam kapasitasnya sebagai Direktur Jenderal Pajak periode 2002-2004.

Ironisnya, penetapannya sebagai tersangka itu bertepatan di hari pertamanya pensiun sebagai Ketua BPK. Yang lebih miris lagi, status tersangka itu juga menjadi 'hadiah' di hari ulang tahunnya yang jatuh pada hari Senin, 21 April 2014. Tahun ini Hadi Poernomo berulang tahun yang ke-67.

Usai menggelar perpisahan di Gedung BPK, Senin malam, mantan Dirjen Pajak itu mengaku baru mendengar statusnya sebagai tersangka melalui media massa. Hadi terkejut dan tidak menduga menjadi tersangka. Namun, dia menyatakan siap menjalani proses hukum di KPK.

"Yang penting saya ikuti proses hukum yang akan dilakukan KPK," kata Hadi Poernomo, Senin malam 21 April 2014.

Ketua KPK Abraham Samad mengatakan, penyidik masih mendalami kasus yang pertama kali terungkap pada 2013 lalu. Dan, penetapan Hadi Poernomo sebagai tersangka bukanlah yang terakhir. Justru ini merupakan langkah awal membuka keterlibatan pihak-pihak lain. "Bisa saja ada tersangka lainnya yang kita tetapkan," kata Abraham Samad.

Tidak hanya Abraham, Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas juga mengungkapkan, penyidik KPK tengah membidik pihak lain di kasus korupsi permohonan keberatan pajak BCA. Busyro mengatakan, kemungkinan adanya keterlibatan pihak swasta dalam kasus ini sangat terbuka.

"Nanti akan dikembangkan, setelah dikembangkan ketahuan swastanya siapa," kata Busyro.

Untuk itu KPK akan segera memanggil sejumlah pihak untuk diperiksa, termasuk dari BCA. Mantan Ketua Komisi Yudisial itu juga tidak menutup kemungkinan KPK akan menjerat oknum di BCA dalam kasus ini. "Bisa jadi," ujarnya.

Namun sampai saat ini, Busyro menegaskan, dua alat bukti yang digunakan untuk menjerat oknum BCA belum sempurna. "Itulah istimewanya KPK. Jadi prinsip di sini, tepat, akurat, akuntabel. Bukan lamban akurat," tegas Busyro.

BCA Membantah

Namun manajemen BCA, pihak swasta yang menjadi pusat kasus yang menjerat Hadi membantah. Presiden Direktur PT BCA Tbk Jahja Setiadmadja menegaskan bank yang dipimpimnya tidak melanggar aturan perpajakan. Bank swasta terbesar di Indonesia ini telah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku.

"Proses yang ditempuh BCA, kami sebagai wajib pajak, telah memenuhi kewajiban dan menjalankan haknya melalui prosedur serta tata cara perpajakan yang benar. Kami tidak melanggar undang-undang," ujar Jahja dalam jumpa pers di Menara BCA, Jakarta, Selasa 22 April 2014.

Jahja menjelaskan, pada 1998, BCA mencatat kerugian fiskal sebesar Rp29,2 triliun akibat krisis ekonomi. Berdasarkan regulasi yang berlaku, kerugian yang dimaksud bisa dikompensasikan dengan penghasilan (tax loss carry forward) mulai tahun pajak berikutnya hingga lima tahun. Kemudian pada 1999, BCA mulai membukukan laba fiskal sebesar Rp174 miliar.

Lalu, berdasarkan pemeriksaan pajak 2002, Direktorat Jenderal Pajak mengoreksi laba fiskal periode 1999 tersebut menjadi Rp6,78 triliun. Dalam nilai tersebut, ada koreksi yang terkait dengan transaksi pengalihan aset termasuk jaminan sebesar Rp5,77 triliun. Hal ini dilakukan dengan proses jual beli yang tertuang dalam Perjanjian Jual Beli dan Penyerahan Piutang No. SP-165/BPPM/0660.

BCA menganggap hal itu sudah sejalan dengan instruksi Menteri Keuangan Nomor 117/KMK.017/1999 dan surat Gubernur Bank Indonesia Nomor 31/15/KEP/GBI pada 26 Maret 1999.

Menurut Jahja, ada perbedaan pendapat dengan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dengan BCA. "Kami melaksanakan instruksi Gubernur BI dan Menteri Keuangan yang dikeluarkan bersamaan tanggal 26 Maret 1999," kata dia.

BCA menjalankan perintah untuk mengalihkan pinjaman bermasalah (non performing loan/NPL), pinjaman yang telah direstrukturisasi, termasuk agunan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Tapi, Direktorat Jenderal Pajak melihatnya sebagai kasus penghapusan NPL.

"Ini terjadi salah paham. Kami sudah melakukan sesuai surat itu. Ada bukti nyata bahwa itu pengalihan aset. Kalau penghapusan, saldo piutang macet tetap ada di BCA," kata dia.

Setelah 2003, agunan itu berhasil ditagih Rp3,29 triliun dan tidak diberikan ke BCA, tapi ke BPPN. "Kalau piutang macet, seharusnya dikembalikan ke BCA. Kami merasa benar," tuturnya.

Kemudian, BCA melayangkan proses keberatan atas koreksi pajak yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak pada 17 Juni 2003. Keberatan tersebut diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak dan dinyatakan dalam SK Nomor KEP-870/PJ.44/2004 pada 18 Juni 2004.

"Kami merasa benar. Ketika dilakukan koreksi pajak, kami mengajukan keberatan kepada LTO (Large Tax Office) dan surat itu dinaikkan ke kanwil dan Ditjen Pajak. Ini dilakukan oleh tax consultant dan dilakukan surat menyurat," kata dia.

Jahja menambahkan, dari periode 1998-2003, ada kompensasi pajak senilai Rp7,81 triliun. Kalau keberatan bank itu atas koreksi pajak senilai Rp5,77 triliun tidak diterima Direktorat Jenderal Pajak, masih ada sisa tax loss carry forward Rp2,04 triliun.

"Itu hangus dan tidak bisa dipakai lagi. Jadi, berdasarkan hal itu, kami menjelaskan permasalahan yang ada dan alasan mengapa kami melakukan keberatan," kata Jahja

Bos BCA itu pun menyatakan bersedia bila dipanggil penyidik KPK terkait kasus ini. "Harus dan akan transparan," tegas Jahja.

Kronologi Kasus


Hadi Poernomo ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan surat perintah penyidikan yang diteken pimpinan KPK pada 21 April 2014. KPK menduga, Hadi Poernomo melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang dalam kapasitasnya sebagai Dirjen Pajak periode 2002-2004.

Ketua KPK Abraham Samad mengungkapkan, kasus ini bermula ketika BCA mengajukan keberatan pajak atas transaksi nonperformance loan (kredit bermasalah) pada 17 Juli 2003 senilai Rp5,7 triliun kepada Direktorat Pajak Penghasilan (PPh).

"Kemudian setelah surat itu diterima PPh, maka dilakukan pengkajian lebih dalam untuk bisa mengambil kesimpulan," kata Abraham dalam jumpa pers di Gedung KPK, Senin 21 April 2014 malam.

Direktorat PPh mengkaji keberatan itu selama satu tahun. Pada 13 Maret 2004, Direktorat PPh mengirimkan surat kepada Dirjen Pajak saat itu, Hadi Poernomo. Surat tersebut berisi hasil telaah Direktorat PPh terhadap keberatan pajak yang diajukan BCA. "Surat itu berisi kesimpulan dari hasil telaah yang memutuskan menolak permohonan wajib pajak BCA," ujarnya.

Namun satu hari sebelum jatuh tempo untuk memberikan keputusan final atas keberatan BCA, yakni 18 Juli 2004, Hadi Poernomo memerintahkan Direktur PPh melalui nota dinas untuk mengubah kesimpulannya. Abraham menduga, Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak meminta Direktur PPh untuk merubah kesimpulannya agar keberatan pajak BCA yang tadinya ditolak menjadi diterima seluruhnya. "Di situlah peran Saudara HP," terang Abraham.

Hadi Poernomo kemudian menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) yang memutuskan menerima wajib pajak BCA. Setelah itu, direktur PPh kemudian menyampaikan surat itu ke PT BCA.

Selain itu, Hadi juga diduga telah mengabaikan fakta materi keberatan yang diajukan bank lain yang memiliki permasalahan yang sama dengan BCA. Pengajuan keberatan pajak yang diajukan bank lain itu ditolak. Namun disaat bersamaan, pengajuan keberatan yang diajukan BCA justru diterima.

"Di sinilah duduk persoalannya. Oleh karena itu, KPK menemukan fakta dan bukti yang akurat dan berdasarkan hal tersebut. KPK adakan forum ekspose dengan satuan tugas penyelidikan dan seluruh pimpinan KPK sepakat menetapkan HP selaku Dirjen Pajak 2002-2004 dan kawan-kawan sebagai tersangka," tegas Abraham.

Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto menambahkan, dari proses penanganan keberatan pajak BCA atas transaksi nonperformance loan sebesar Rp5,7 triliun itu terdapat selisih yang diduga merupakan nilai pajak yang tidak dibayarkan BCA kepada negara sehingga dicatat sebagai kerugian negara.

"Ada kerugian yang seharusnya negara menerima Rp375 miliar, ini jadi tidak. Dan apakah sudah ada kickback, ini penyelidikan KPK," imbuh Bambang.

KPK menjerat Hadi dengan Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara dan denda maksimal Rp1 miliar. (umi)

Baca juga :

Bobby Nasution akan Jalin Komunikasi dengan NasDem dan PKB untuk Pilgub Sumut
Operasi penindakan praktik pungli parkir di Terminal Depok

Tim Saber Pungli Depok Beraksi, Amankan 4 Orang dari Terminal Depok

Empat orang diamankan diduga melakukan praktik pungutan liar (pungli) di Terminal Terpadu Depok Baru. Keempat orang itu diamankan oleh Tim Saber Pungli pada Jumat, 19 Apr

img_title
VIVA.co.id
19 April 2024