Catatan Penting BPJS Setelah Dua Pekan Berjalan

Ilustrasi kartu BPJS resmi
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar
VIVAnews
Anak Selebgram Aghnia Punjabi Diduga Dianiaya Pengasuh, Badan Diduduki hingga Kepala Dibanting
- Peserta Badan Penyelengara Jaminan Sosial Kesehatan atau Jaminan Kesehatan Nasional akan mendapat pelayanan, baik perawatan maupun obat yang dibutuhkan selama sakit, termasuk sakit kronis.

Suara Golkar di Pemilu 2024 Naik Signifikan, Airlangga: Hitungan Kami Dapat 102 Kursi

Hal ini disampaikan Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan Fajriadinur di kantor BPJS Kesehatan, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Rabu 15 Januari 2014. "Iuran yang dibayarkan peserta JKN itu sudah termasuk dengan pengobatan. Beda dengan Askes, di sistem INA-CBGs pembayaran sudah sepaket dengan obat," kata Fajri.
Viral Anak Selebgram Malang Dianiaya Pengasuhnya, Polisi Langsung Tangkap Pelaku


INA-CBGs adalah sistem pengelompokan penyakit pasien berdasarkan ciri klinis yang sama dan sumber daya yang digunakan dalam pengobatan. Pengelompokan ini ditujukan untuk pembiayaan kesehatan pada penyelenggaraan jaminan kesehatan sebagai pola pembayaran yang bersifat prospektif.

Manfaatnya untuk menetapkan standar tarif dan lebih memberikan kepastian pada setiap penyakit yang diderita pasien. Penyesuaian tarif pengobatan di INA-CBGs ini lanjut Fajri, sedang dalam taraf penyempurnaan dan dipastikan selesai pada awal Juli nanti.

"Nanti terdapat 1.077 jenis penyakit yang dikelompokkan tarifnya," katanya.

Sebab itu Fajri menekankan, peserta JKN tidak perlu khawatir untuk mengobati penyakit berat, karena sudah masuk dalam standarisasi tarif. INA-CBGs dan ditanggung BPJS Kesehatan. "Contoh kalau sakit jantung, pasang ring itu sudah di dalam paket INA-CBGs. Itu sudah dengan obatnya. Itu memang mahal tapi kan kami sudah menghitung semuanya. Kalau jadi, peserta JKN, kan sudah dicover," katanya. Menurut Fajri, tidak ada batasan platform biaya untuk penyakit-penyakit berat, semua akan ditanggung BPJS Kesehatan.

Selain itu, untuk pelayanan khusus peserta penyakit kronis, BPJS Kesehatan bersama Kementerian Kesehatan telah melakukan evaluasi bersama dengan Tim Nasional Casemix Center, Organisasi Profesi dan rumah sakit. Dari evaluasi itu dikeluarkan Surat Edarat ke seluruh fasilitas kesehatan, khususnya untuk rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.


"Bagi penderita penyakit kronis khususnya untuk pelayanan obat dibuat kebijakan di antaranya penderita penyakit kronis dapat mengikuti Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis) BPJS Kesehatan melalui pelayanan rujuk balik. Pemberian obat dapat dilayani di fasilitas kesehatan tingkat pertama untuk kebutuhan 1 bulan," paparnya.


Program rujuk balik ini untuk melayani beberapa penyakit kronis seperti Diabetes Mellitus, Hipertensi, Jantung, Asma, Epilepsi dan penyakit kronis lainnya. Untuk program rujuk balik, baru akan disusun tatalaksana dan obatnya antara BPJS Kesehatan dan organisasi profesi.


Untuk peserta dengan penyakit berbiaya tinggi, lanjut Fajri, khusus untuk pemberian obat, misalkan penderita thalasemia dan hemophilia tidak hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan seperti rumah sakit. Dapat juga dilayani di dokter spesialis praktek perorangan atau bersama yang telah bekerjasama dengan BPJS.


"Dengan mempertimbangkan kemampuan si klinik dan kondisi geografis si pasien yang tidak memungkinkan dibawa ke RS," kata Fajri.


Ia juga mengingatkan bila ada pasien peserta JKN yang diminta membeli obat dengan biaya sendiri oleh klinik atau rumah sakit, maka harus dilaporkan ke Satgas yang telah dibentuk BPJS Kesehatan atau posko BPJS 24 jam.


Tak tanggung bencana
Namun, BPJS Kesehatan tidak menanggung klaim biaya perawatan kesehatan masyarakat yang muncul karena bencana alam. "Karena sudah ada dalam skema anggaran tanggap bencana," kata Fajri.


BPJS hanya menanggung biaya kesehatan masyarakat dalam kondisi normal. Adapun seperti bencana meletusnya Gunung Sinabung di Tanah Karo, Sumatera Utara, dan bencana banjir yang sudah ditetapkan sebagai tanggap darurat, tidak masuk skema BPJS.


"Setelah kondisi tanggap darurat selesai, mereka mendaftar BPJS, kami layani," ujar Fajri.


Hingga saat ini BPJS telah menerima 116 juta peserta Jaminan Kesehatan Nasional hingga Rabu, 15 Januari 2014. Angka itu diterima setelah pemerintah resmi menyelenggarakan jaminan kesehatan dan jaminan ketenagakerjaan untuk masyarakat Indonesia per 1 Januari 2014.


Data-data peserta BPJS sebanyak 116.122.065 itu diperoleh dari proses pengalihan database peserta Askes Sosial, Jamkesmas, Jamsostek, dan Jaminan Kesehatan TNI/Polri. "Itu sudah kami migrasikan data-datanya," katanya.


Selain data migrasi, BPJS juga menerima peserta yang mendaftar secara mandiri untuk kelompok pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja sebanyak 162.201 peserta. Sedangkan untuk peralihan Jamkesda dari 32 Kabupaten/Kota yang sudah terintegrasi dan sudah dimigrasi sebanyak 3.512.248 peserta.


Fajri mengatakan, untuk mendaftar BPJS Kesehatan caranya sangat mudah. Masyarakat yang ingin mendaftar secara mandiri bisa membawa identitas asli, seperti KTP, Kartu Keluarga, serta mengisi formulir daftar isian peserta. Bagi pekerja penerima upah bisa diurus melalui kantor tempat bekerja masing-masing. Sedangkan warga negara asing cukup menunjukkan kartu izin tinggal sementara/tetap.


Pemerintah telah menetapkan besaran iuran BPJS Kesehatan bagi pekerja di luar penerima upah. Untuk pelayanan rawat inap kelas tiga Rp25.500 per bulan/orang. Untuk kelas dua Rp42.500 per bulan/orang dan untuk pelayanan rawat inap kelas satu Rp59.500 per bulan/orang.


Adapun bagi karyawan penerima upah sebesar 4,5 persen dari gaji karyawan per bulan hingga Juni 2015, dan meningkat menjadi 5 persen pada 1 Juli 2015. Untuk komposisi besaran iuran, pengusaha diminta membayarkan iuran karyawannya sebesar 4 persen, sedangkan pekerja sebesar 0,5 persen sebelum Juli 2015 dan 1 persen setelah Juli 2015.


Sedangkan iuran bagi masyarakat miskin dan tidak mampu dibayarkan pemerintah sebesar Rp19.225 per bulan/orang. Kemudian bagi PNS/Polri/TNI/Pensiunan sebesar 5 persen, yang terdiri dari 3 persen pemerintah, 2 persen pekerja.


Sederet masalah
Sejumlah persoalan muncul dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional dan Badan Pelaksana Jaminan Sosial Kesehatan. Padahal program sosial ini baru dua pekan bergulir.


Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, permasalahan masih didominasi ketidaksiapan pemerintah dan BPJS Kesehatan --sebelumnya bernama PT Askes (Persero)-- dalam menyelenggarakan jaminan sosial bagi masyarakat.


Di antaranya keterlambatan pembuatan regulasi operasional seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Peraturan Menteri Kesehatan berkontribusi, sehingga menimbulkan masalah di lapangan.


"Salah satu contoh, sampai saat ini masih banyak pengusaha tidak mengetahui berapa iuran yang harus dibayarkan, manfaat, serta fasilitas yang akan didapat pekerja," kata Timboel dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu 15 Januari 2014.


Sementara itu, dari pengakuan seorang pekerja di KBN Cakung pemegang kartu JPK Jamsostek merasa dirugikan karena BPJS Kesehatan hanya mengcover biaya sebatas Rp250 ribu, sementara biaya rumah sakit yang harus dikeluarkan Rp1,6 juta.


BPJS watch menilai, keputusan pemerintah menetapkan Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp19.225 per bulan per orang, dan penetapan biaya kapitasi ke Pelaksana Pelayanan Kesehatan yang relatif rendah menyebabkan protes para dokter dan rumah sakit mitra.


Belum lagi peserta KJS yang juga otomatis sebagai peserta BPJS Kesehatan kerap kali diharuskan membeli obat sendiri sehingga memberatkan pasien KJS. Selain itu regulasi tentang harga obat juga sampai saat ini belum jelas. "Seharusnya harga obat tidak boleh memberatkan peserta dan BPJS Kesehatan juga harus mengcover obat," ujarnya.


Menurutnya, ketidaksiapan BPJS Kesehatan di lapangan juga sangat mempengaruhi  pelayanan peserta. Proses transformasi JPK Jamsostek ke BPJS Kesehatan tidak dilakukan dengan baik.


"Pekerja JPK Jamsostek yang otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan ternyata harus disuruh mendaftar lagi ke BPJS Kesehatan. Ini yang membuat pekerja dan pengusaha protes," kata Timboel.


Seharusnya kata Timboel, data dari Jamsostek bisa digunakan BPJS Kesehatan untuk membuat kartu BPJS Kesehatan untuk pekerja formal. Demikian juga data purnawirawan TNI/Polri harusnya sudah bisa digunakan BPJS Kesehatan untuk membuat kartu baru tanpa keharusan para purnawirawan tersebut mendaftar ulang ke BPJS Kesehatan.


Masalah lainnya, transformasi JPK Jamsostek ke BPJS Kesehatan meninggalkan peserta JPK Pekerja Mandiri yang tidak otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan. Padahal sesuai UU 24/2011 tentang BPJS sangat jelas dinyatakan peserta JPK Jamsostek otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan.


Selain itu pada saat di Jamsostek, program JPK Pekerja Mandiri melingkupi keluarga tetapi saat ini peserta Pekerja Mandiri di BPJS Kesehatan merupakan peserta individual saja. "Harusnya BPJS Kesehatan juga menerima peserta pekerja mandiri berbasis keluarga dengan iuran yang khusus, tidak mengacu pada hitungan pekerja mandiri," katanya.


Permasalahan pendaftaran menjadi peserta BPJS Kesehatan juga dikeluhkan masyarakat, karena banyak lokasi pendaftaran hanya ada di lokasi-lokasi tertentu saja, sehingga terjadi penumpukan calon pendaftar. "Seharusnya pendaftaran BPJS Kesehatan dilakukan di Puskesmas-Puskesmas atau rumah sakit-rumah sakit yang mudah diakses masyarakat," ujar Timboel.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya