Perginya Ariel Sharon "Si Buldoser" Berjejak Darah

Mantan PM Israel Ariel Sharon
Sumber :
  • REUTERS/David Silverman/Pool/Files

VIVAnews - Mantan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon tutup usia pada Sabtu 12 Januari 2014 lalu, setelah delapan tahun terbujur kaku karena koma. Kehidupan pria 85 tahun ini dipuji dan dicela. Dipuji karena berhasil mengokohkan posisi Israel di Timur Tengah, dicela atas berbagai kasus pembantaian yang merenggut nyawa warga sipil Palestina.

Lahir pada 26 Februari 1928 di Kfar Malal, wilayah pendudukan Inggris di Palestina, dari orangtua Yahudi asal Belarusia, Sharon telah memperlihatkan minatnya pada militer sejak usia muda. Di usianya yang baru 14 tahun pada 1942, dia bergabung dengan pasukan paramiliter bawah tanah sebelum Israel terbentuk bernama Haganah.

Dalam sebuah artikel berjudul "Return of the Terrorist: The Crimes of Ariel Sharon" yang dipublikasikan oleh jurnal Counter Punch tahun 2001 lalu, dikatakan bahwa dari sinilah sejarah penuh darah Sharon bermula. Tahun 1953, mengomandani Unit 101 dari Haganah, Sharon dan pasukannya bertugas untuk membalas serangan etnis Arab terhadap desa-desa Yahudi di Palestina.

Korlantas Minta Pelat Nomor Dinas Lembaga Tercatat di Database Polri

Darah pertama yang dialiri Sharon tercatat terjadi pada Agustus 1953 saat Unit 101 menyerang kamp pengungsi El-Bureig, selatan Gaza. Sumber mencatat, 50 pengungsi dibunuh saat itu, sumber lainnya menyebutkan 15 atau 20 korban.

Mayor Jenderal Vagn Bennike, komandan UNTSO atau Organisasi Pengawas Gencatan Senjata PBB untuk mengawasi perdamaian Yahudi dan Arab mengatakan, orang-orang Sharon melempari jendela-jendela gubuk pengungsi dengan bom saat mereka tidur, lalu menembaki warga dengan senapan.

Serangan berikutnya dilakukan Unit 101 bersama tentara Israel pada Oktober 1953 di desa Qibya perbatasan Tepi Barat-Yordania, mencoreng citra menteri luar negeri Israel kala itu, Moshe Sharett. Sebanyak 69 warga Arab Palestina dibunuh, termasuk wanita dan anak-anak. Empat puluh lima rumah, sekolah dan masjid dihancurkan.

"Sebuah kesaksian yang berulang-ulang disampaikan: peluru menghancurkan pintu, mayat-mayat bergelatakan di rumah-rumah, menunjukkan bahwa penduduk dipaksa dengan peluru untuk tetap di dalam sampai rumah mereka diledakkan," ujar pengamat PBB saat itu.

Tindakan ini dikecam oleh pemerintah AS dan Dewan Keamanan PBB serta komunitas Yahudi di seluruh dunia. Israel mengaku bersalah, namun Sharon lolos dari hukuman. Unit 101 dibubarkan saat itu juga.

Sejak itu, karir politiknya meroket. Tahun 1973, dia melanggar perintah dan memerintahkan pasukan Israel saat itu untuk menyeberangi Kanal Suez. Taktiknya ini berhasil memotong jalur pasukan Mesir yang saat itu hendak menyerang Tel Aviv. berkat strateginya ini, Israel memenangkan perang dan membuka jalan perdamaian dengan Mesir tahun 1979.

Tahun 1981, dia terpilih menjadi Menteri Pertahanan di bawah pemerintahan periode kedua Perdana Menteri Menachem Begin. Menjabat menhan, Sharon mengomandani penyerangan tahun 1982 ke Lebanon untuk menghancurkan PLO (Organisasi Pembebasan Palestina). 

Sebanyak 20.000 warga Palestina dan Lebanon tewas, lebih dari 1.000 tentara Israel juga meregang nyawa. Tentara Israel dilaporkan mengebom permukiman sipil warga Palestina.

Namun yang menghancurkan karir Sharon saat itu adalah pembantaian di kamp pengungsi Sabra dan Shatilla di Lebanon pada 16-18 September 1982. Sedikitnya 3.500 orang warga Palestina dan Lebanon tewas dalam pembantaian di wilayah yang dikendalikan militer Israel tersebut.

Pelakunya adalah kelompok militan Kristen Phalange yang bersekutu dan dipersenjatai oleh Israel sejak perang sipil di Lebanon tahun 1975. Korban dalam pembantaian 62 jam itu termasuk balita, anak-anak, wanita (termasuk wanita hamil) dan orang tua. Sebagian korban dimutilasi atau diburaikan isi perutnya sebelum atau sesudah dibunuh.

Hasil penyelidikan Mahkamah Tinggi Israel menunjukkan bahwa Sharon secara tidak langsung terlibat dalam pembantaian tersebut. Dalam laporannya dikatakan, Sharon sebagai menhan harusnya tahu bahwa kelompok Kristen akan menuntut balas atas perang saudara di Lebanon. Sharon bukannya mencegahnya, malah memperbolehkan kelompok Phalange memasuki kamp.

Sharon membantah tuduhan tersebut, dia akhirnya dicopot dari posisinya sebagai Menhan pada 14 Februari 1983. Karena peristiwa ini, Sharon dijuluki sebagai "Tukang Jagal Beirut".

Pemkot Gelar Nobar Laga Indonesia vs Irak di Depan Balai Kota Solo, Gibran Ikut?

Anti Perdamaian

Pria yang juga dijuluki "Si Buldozer" lantas mendirikan Partai Likud. Di partai ini, dia dikenal keras kepala dan menolak segala macam bentuk perdamaian dengan Palestina maupun Mesir.

Tahun 1985, dia juga menolak penarikan pasukan Israel di selatan Lebanon, menolak partisipasi Israel pada konferensi damai Madrid tahun 1991 dan perjanjian Oslo tahun 1993. Tahun 1994, dia abstain dalam voting perdamaian dan Yordania. Dia juga menentang perjanjian Hebron tahun 1997.

Sebelumnya saat menjabat menteri pertanian akhir tahun 1970an, dia membangun banyak permukiman Yahudi di Tepi Barat yang masih berlanjut hingga kini dan selalu jadi batu sandungan perdamaian dengan Palestina. Sharon bertekad tidak akan memberikan seinci pun tanah pada warga Palestina.

Tahun 2000 Sharon dituduh memprovokasi Intifada kedua saat dia mengunjungi Masjid Al-Aqsa di Yerusalem. Saat itu, selama beberapa jam, Sharon menginjakkan kakinya di situs ketiga paling suci umat Islam itu. Di luar, warga Palestina yang tidak sudi tempat suci itu didatangi Sharon melancarkan aksi perlawanan brutal.

Saat itu, Sharon mengatakan pada media bahwa dia mencoba menyampaikan pesan perdamaian. Namun para pengamat mengatakan bahwa ini adalah cara Sharon memicu kekerasan di tengah upayanya menjadi perdana menteri Israel.

Dia terpilih menjadi PM Israel pada 2001 dan 2003. Yousef Munnayyer, Direktur Eksekutif Jerusalem Fund dalam tulisannya di Al-Jazeera, Sabtu pekan lalu, mengatakan bahwa seperti tahun-tahun sebelumnya, Sharon memimpin Israel dengan berbagai kekerasan dan pelanggaran hukum internasional.

Pembangunan permukiman Yahudi yang menggusur rumah warga Palestina , 12 Dese,msemakin marak terjadi di Tepi Barat. Di bawah kepemimpinnya, Israel punya kebijakan untuk menghancurkan rumah-rumah warga Palestina yang menyerang warga atau tentara Israel.

Viral Video Baku Hantam Dua Kelompok Suporter Bola di Stasiun Manggarai, Bikin Panik Penumpang

Siasat Sharon di Gaza

Namun pada 2003, dia mengambil kebijakan menghebohkan kaum ultranasionalis dan konservatif di Israel. Dia memindahkan 21 permukiman Israel di Jalur Gaza dan empat dari Tepi Barat. Tahun 2005, dia menarik seluruh tentara Israel dari Gaza dan 7.000 warga Israel dari tempat itu.

Padahal sepuluh tahun sebelumnya, Sharon terkenal dengan jargonnya, "Caplok sebanyak mungkin bukit, perluas wilayah. Semua yang kita renggut akan ada di genggaman kita, semua yang tidak kita ambil ada di tangan Palestina."

Walaupun dikecam di Israel, namun keputusannya ini menuai pujian masyarakat internasional yang mengatakan bahwa Sharon coba menggagas perdamaian. Tahun 2005, dia keluar dari Likud dan membentuk partai Kadima.

Namun kenyataannya tidak demikian. Menurut Menachem Klein, professor politik di Universitas Bar Ilan, Tel Aviv, di Al-Jazeera, hengkangnya Israel dari Gaza adalah salah satu dari rencana besar Sharon. Dalam pengamatan Klein, Sharon mencoba memisahkan Gaza dari Tepi Barat.

Sharon juga melarang Otoritas Palestina dan Hamas dari Yerusalem Timur, semakin membagi Palestina menjadi tiga kubu: Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem. Cara ini sukses, ketiga wilayah ini mulai kehilangan identitas nasional dan persatuan mereka, dan mulai mengembangkan visi politik masing-masing.

Selain itu, dipisahkannya Gaza dan Tepi Barat adalah langkah jitu membelah Fatah dan Hamas.

Kedua, pria tiga anak ini bisa lebih fokus ke Tepi Barat, sasaran sesungguhnya. Dia seolah menjadikan Otoritas Palestina -pemerintah Palestina-sebagai sub-kontraktor pendudukan Israel. Selain itu, kata Klein, Israel berhasil mendorong kepemimpinan Mahmoud Abbas yang lemah untuk menggantikan mendiang Yasser Arafat.

Hal ini diamini oleh salah satu ajudan Sharon, Dov Weisglass, kepada International New York Times 2004 silam. Dia mengatakan mundurnya mereka dari Gaza tidak akan beri kemajuan pada proses perdamaian, tapi malah membekukannya. Ini sesuai rencana mereka: menggagalkan terbentuknya Negara Palestina.

"Tujuan kami ingin membekukan proses perdamaian. Langkah ini memberikan sarana yang tepat sehingga tidak akan proses politik dengan Palestina. Jika proses membeku. tidak akan ada negara Palestina. Praktiknya, seluruh paket bernama negara Palestina, dengan seluruh embel-embelnya, telah dihapuskan dari agenda kami," kata Weislglass.

Merunut sejarah berdarah Sharon ini, maka tidak heran jika mantan Presiden AS George W Bush menuai kritik karena pernah menyebut Sharon sebagai "pria penuh damai".

Sementara penerusnya, Presiden Ronald Reagan lebih kritis dan terbuka matanya. Reagan dalam buku hariannya tahun 1982 sempat menulis bahwa Sharon adalah  "pria jahat yang ingin selalu berperang."(np)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya