DPR Usulkan Puluhan Daerah Pemekaran, Apa Urgensinya?

Peta Indonesia tiga zona waktu
Sumber :

VIVAnews – Ini soal pemekaran daerah.  Wakil rakyat kita di Senayan mengusulkan pembentukan 65 Daerah Otonomi Baru (DOB). Delapan di antaranya adalah provinsi baru. Menyebar di seluruh Indonesia. Meski banyak dikritik, bahkan sejumlah tokoh di Papua tegas menolak, rencana pemekaran ini tampaknya jalan terus.

Tips Sukses dari Konten Kreator Abibayu, Always On dan Inovasi Kreatif

"Semoga bisa disampaikan kepada Presiden minggu-minggu ini," begitu kata Ketua Komisi II DPR, Agun Gunanjar Sudarsa, kepada VIVAnews, Selasa 29 Oktober 2013.  

Sekretariat Komisi II hari-hari ini tengah sibuk membereskan masalah administrasi usulan itu, juga alasan pemekaran tiap daerah. Jika sudah beres, usulan ini masuk meja presiden, lengkap dengan segala polemiknya.

Di Senayan sendiri, pemekaran daerah yang begitu banyak itu sudah dibahas dalam sidang paripurna 24 Oktober lalu. Delapan provinsi baru yang diusulkan adalah Provinsi Tapanuli, Provinsi Kepulauan Nias, Provinsi Pulau Sumbawa, Provinsi Kapuas Raya, Provinsi Bolaang Mongondow Raya, Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Barat Daya. “Rancangan Undang Undang itu segera dibahas mulai masa persidangan yang akan datang," kata Ketua DPR Marzuki Alie dalam pidato penutupan masa sidang I Tahun 2013-2014 tersebut.

Mengapa begitu banyak daerah otonomi baru yang diusulkan? Inilah jawaban Marzuki Alie. Pemekaran, katanya, memperkokoh NKRI. Mengembangkan potensi daerah. Memperpendek rentang kendali. Demi keamanan, alasan kultural budaya dan alasan historis. Sejumlah alasan yang tentu saja terbuka untuk diperdebatkan.

Dalam sidang paripurna tanggal 24 Oktober itu, Partai Keadilan Sejahtera mengusulkan pembentukan Provinsi Sumatera Tenggara. Usul itu ditolak. "Kami meminta kepada seluruh pemangku kepentingan untuk lengkapi persyaratannya," kata Ketua Komisi II Agun Gunanjar.

Mengapa DPR begitu bersemangat membahas daerah otonomi baru itu? Begini jawaban Agun Gunanjar. Usulan tersebut, katanya, merupakan tugas DPR sebagai penyambung aspirasi rakyat. Sejumlah 65 daerah otonomi tadi adalah bagian dari 200 usulan yang diproses. Usulan sebanyak itu merupakan akumulasi dari tahun 2002, yang lama mengendap di Senayan.

“Bagi DPR, sebagai lembaga penampung dan penyalur aspirasi rakyat, tentunya aspirasi sudah melalui proses yang tidak mudah untuk memprosesnya. Para pengusul  sudah bolak-balik menanyakan nasibnya, kata Agun.

Demi memeriksa semua usulan itu, DPR kemudian membentuk dua panitia kerja (Panja). Tugas mereka adalah membahas semua usulan itu bersama pemerintah. Satu dari dua Panja itu adalah khusus membahas pemekaran wilayah Papua dan Papua Barat. Satu lagi khusus membahas di luar Papua.

Agun mengakui banyak suara sumbang seputar pembahasan pemekaran wilayah itu. Dia menggaransi, proses penyerapan aspirasi hingga menjadi usulan dilakukan secara terbuka. ”Silakan orang berkomentar A sampai Z. Saya bertanggung jawab akan segala sesuatunya. Pemekaran bukan tanpa tujuan,” kata Agun.

Papua Menolak?

Usul pembentukan daerah otonom baru itu ditolak keras anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Alasan mereka jelas. Pemekaran kabupaten dan kota di Provinsi Papua terkesan asal-asalan dan tidak bermutu. Rancangan undang-undang baru itu dinilai tidak mempertimbangkan sejumlah apek penting dalam pemekaran wilayah seperti jumlah penduduk, geografi wilayah, sumber daya alam, dan sumber daya manusia.

"Pemekaran atau pembentukan daerah otonom baru yang kini RUU-nya sedang dibahas DPR tidak memperdulikan syarat-syarat yang ditentukan. Sehingga terkesan sangat tak berkulitas alias serampangan," kata Sekretaris Komisi A DPRP Bidang Pemerintahan Julius, Miagoni, Senin 28 Oktober.

Pemerintah pusat maupun DPR RI, lanjutnya, seperti tidak mempunyai aturan baku, yang digunakan sebagai landasan melahirkan daerah otonomi baru (DOB). "Pusat tak punya batasan, berapa sebenarnya syarat jumlah penduduk untuk lahirnya DOB," katanya.

Lantaran tidak punya tolok ukur yang jelas, pemekaran ini, kata Julius, hanya menjadi semacam gula-gula politik yang diberikan pusat kepada daerah. "DPR seperti memberikan gula-gula tanpa memikirkan aspek yang akan timbul," katanya.

Apa yang menjadi keputusan DPR dengan DPR Papua juga tidak pernah sejalan atau sinkron. Sejumlah daerah yang direkomendasikan DPR Papua untuk dimekarkan malah tidak diakomodir. "Tidak ada sinergi antara DPR dan DPR Papua, akibatnya yang dilahirkan adalah pemekaran murahan tanpa bobot, dan terkesan hanya kepentingan politik sesaat menjelang Pemilu 2014," katanya.

Jumlah penduduk yang sangat sedikit di beberapa willayah yang dimekarkan itu sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Penduduk sedikit tidak seimbang dengan jumlah pemekaran yang saat ini sedang digodok. "Jumlah penduduk orang asli Papua hanya sekitar 1,5 juta selebihnya orang non-Papua. Pemekaran terkesan sebagai topeng transmigrasi, karena pada akhirnya nanti pendatanglah yang mendominasi DOB." DPR Papua meminta, pemekaran kabupaten/ kota apalagi provinsi untuk sementara dihentikan. "Moratorium pemekaran harus dilaksanakan."

DPR Papua juga mendukung Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe yang menegaskan, untuk saat ini pemekaran provinsi tidak ada. "Kami dukung kebijakan gubernur, yang tidak menyetujui adanya pemekaran provinsi, tapi kalau kabupaten/kota silahkan," katanya.

Agun sendiri menganggap wajar penolakan dari Papua itu. Setiap usulan, katanya, mengundang pro dan kontra. "Mereka memandang dari sisi berbeda. Kami penyalur aspirasi tidak ingin ada keberpihakan,” ujar Agun.

Banyak yang Gagal

Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng, menyebutkan bahwa usulan pemekaran 65 DOB itu merupakan bagian dari begitu banyak usulan daerah otonom baru yang sekarang sedang antri di Senayan. Meskipun pemerintah telah memoratorium pemekaran daerah sejak 2010, usulan baru terus mengalir. Mengapa? Karena usulan terbuka lewat tiga pintu, yaitu pemerintah, DPR, dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah).

”Bagi DPR, pilihan politiknya memang harus mekar. Dengan begitu mereka bisa mendistribusikan kader politik ke kursi jabatan politik,” ujar Endi.

Endi mengingatkan DPR akan temuan tim evaluasi pelaksanaan otonomi daerah yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri. Dimana 80% daerah otonom baru tidak mencapai tujuan pemekaran, yaitu menyejahterakan rakyat. Dalam skala 1-10, hanya ada dua daerah yang meraih nilai 6, yaitu Kabupaten Cimahi, Jawa Barat, dan Banjar Baru, Kalimantan Selatan. Indikator penilaian itu adalah kesejahteraan rakyat, good governance, pelayanan publik, dan daya saing.

“Sebagian besar DOB masih harus menempuh jalan panjang untuk sukses atau dengan kata lain gagal,” katanya.

Dia mengkritisi DPR yang dinilainya memaksakan diri untuk memproses usulan pemekaran wilayah itu. Alih-alih mendukung pemerintah yang melakukan moratorium pemekaran, sebagaimana dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014, DPR justru mengajukan usul tersebut. Bolanya kini, kata Endi, sudah di tangan pemerintah.  Apakah pemerintah terlena menari di atas gendang politisi Senayan.

Pemerintah sendiri, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, belum bersedia menanggapi usulan pemekaran dari DPR itu. Dia juga belum mendapat amanat presiden untuk menindaklanjuti usul itu.  ”Sampai saat ini saya belum menerima usulan tersebut dan saya juga belum menerima Ampresnya. Karena itu saya tidak bisa menanggapinya,” kata Gamawan melalui pesan pendek.

Kecelakaan beruntun akibat truk yang ugal ugalan terjadi di Gerbang Tol (GT) Halim, Jakarta Timur, Rabu 27 Maret 2024.

Polisi Sebut Kecelakaan Beruntun di GT Halim Libatkan 9 Kendaraan

Polisi merevisi jumlah kendaraan yang terlibat kecelakaan beruntun di Gerbang Tol (GT) Halim Utama.

img_title
VIVA.co.id
28 Maret 2024