Dahlan Rancang Kebijakan Satu Paket Sektor Migas, Apa Untungya?

Kilang minyak Pertamina.
Sumber :
  • Pertamina
VIVAnews - Perusahaan minyak dan gas (Migas) tampaknya segera menghirup angin segar. Sebab pemerintah akan membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk pengelolaan dan pembangunan blok migas. Mereka bisa menanam uang di sektor ini dari hulu hingga hilir. 
Siap Tanding ! Bank Mandiri Resmi Umumkan Tim Proliga 2024 Putri, Jakarta Livin' Mandiri (JLM)

Adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan, yang mencetuskan gagasan ini, dua hari lalu. Sabtu, 26 Oktober 2013. Dahlan menyebutnya sebagai kebijakan satu paket. Dahlan yang kini juga sibuk mengikuti Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat itu, belakangan ini memang kerap melontarkan gagasan-gagasan baru demi mendukung kebijakan pemerintah. Dia, misalnya, mengusulkan pembentukan konsorsium perusahaan pelat merah dalam mengarap proyek-proyek pemerintah. Gagasannya yang terbaru adalah soal sektor migas itu. 
Kiprah Ninja Xpress Jadi 'Teman' UMKM Bantu Naik Kelas

Dahlan memastikan bahwa dalam beberapa hari ke depan, dia akan merumuskan secara lengkap dan rinci soal kebijakan satu paket itu. "Saya belum sempat dan masih terlalu sibuk. Minggu depan saya akan merumuskannya," kata Dahlan dalam keterangan tertulis yang diterima VIVAnews.
Masuk Usia Kepala 4, Vicky Prasetyo Sudah Siapkan Kain Kafan?

Sesudah rumusan itu disusun, Dahlan akan menyampaikannya kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Jero Wacik. Jika sudah matang dan semuanya setuju, kebijakan itu bisa dirumuskan sebagai keputusan pemerintah.

Dalam skema satu paket itu, pemerintah akan menetapkan aturan yang berbeda dengan yang berlaku selama ini. Jika sebelumnya, mendapatkan blok migas harus lewat lelang, kali ini pemerintah akan memberikan blok migas tanpa lelang kepada perusahaan yang mengadakan kontrak dengan pemerintah. Tapi ada syaratnya. Sang investor harus menyanggupi untuk membangun kilang minyak atau refinery.

Selama ini ketergantuan Indonesia akan impor migas memang sangat besar. Dan itu adalah satu sebab terjadinya defisit neraca perdangan. September lalu, Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto, yang lingkup kerjanya juga soal Migas, menegaskan bahwa selama ini kita impor BBM dari Singapura karena negara itu memiliki dua kilang besar.

Salah satu cara mengurangi ketergantungan itu adalah membangun refinery atau kilang minyak sendiri. Erlangga menegaskan bahwa Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) Indonesia sudah USD3.400. Jadi mestinya refinery itu bisa dibangun. Namun Dahlan saat itu menyampaikan bahwa persoalan terbesar dalam membangun kilang itu adalah dana. "Refinery memang ada masalah yaitu fasilitas keuangan yang belum selesai," kata Dahlan.

Jika negara kesulitan keuangan, maka perusahaan swasta atau para investor perlu diajak untuk membangun kilang-kilang itu. Salah satu caranya adalah dengan menawarkan paket lengkap itu. Paket ini bakal diminati banyak pengusaha sebab, "Banyak investor yang menginginkan diberi paket untuk mengebor minyak di satu sumber minyak," tutur Dahlan. Sumber pendapatan para investor itu tentu saja akan lebih terbuka luas dan lebih pasti. 

Saat ini, untuk mendapatkan pengelolaan blok migas di Indonesia, perusahaan harus mengikuti proses lelang. "Misalnya, Indonesia punya minyak di sebuah lokasi dan itu dilelang. Dilelang, siapa yang dapat dan dapat di blok apa," ujarnya. Nah, dengan cara baru itu, satu blok bisa didedikasikan bagi investor yang membangun refinery. "Kalau digabung usaha hulu dan hilir, itu kan baik," katanya.

Dahlan beralasan bahwa keuntungan yang didapat dari sektor hulu lebih besar dari hilir. "Membangun refinery itu tidak menguntungkan. Yang menguntungkan itu mengolah minyak mentah," kata mantan dirut PT Perusahaan Listrik Negara itu.

Sementara itu, pengamat migas Kurtubi, Minggu 27 Oktober 2013, mengatakan bahwa gagasan tersebut susah diimplementasikan. Alasannya, dalam suatu blok yang digarap belum tentu akan menghasilkan minyak. "Blok-blok yang akan digarap belum tentu ada minyaknya," kata Kurtubi kepada VIVAnews.

Kendati demikian, Kurtubi tidak menampik bahwa industri migas di sektor hulu memberikan keuntungan yang lebih tinggi daripada sektor hilir. Meskipun, sektor hilir tidak mungkin rugi. "Kilang itu memang menghasilkan BBM (bahan bakar minyak)," kata dia.

Namun, menurutnya,  ada satu hal yang perlu dicatat bahwa BBM adalah kebutuhan masyarakat yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah. Kurtubi melihat bahwa Dahlan perlu meninjau kembali gagasannya itu, oleh karena minyak itu sudah menjadi kebutuhan rakyat yang harus dipenuhi negara.

"Kilang itu menghasilkan BBM dan itu merupakan cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Makanya, kilang itu harus dikuasai oleh negara. Jangan diserahkan kepada swasta. Mengacu pada pasal 33 UUD 1945 yang bunyinya cabang-cabang produksi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, harus dikuasai negara. Seharusnya, BUMN yang membangun (kilang minyak)," kata dia.

Konsorsium Pelat Merah

Sebelumnya, Dahlan Iskan juga mencetuskan gagasan agar negara membentuk konsorsium perusahaan pelat merah. Konsorsium itu yang bergerak memacu pembangunan di sejumlah daerah. Misalnya, membangun pembangkit listrik di berbagai daerah, terutama Sumatera.

Gagasan itu, katanya, mengacu pada pembangunan tol Bali yang dinilai sukses. Pembangunan tol itu dikerjakan oleh beberapa perusahaan BUMN. "Kalau BUMN bisa buat konsorsium sendiri untuk jalan tol di Bali, mengapa tidak untuk membangun pembangkit listrik di Sumatera Utara?" kata Dahlan di DPR,  Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dahlan tidak memungkiri bahwa idenya baru bisa terlaksana, apabila banyak pihak yang mendukung dan bersama-sama bekerja. "Dengan perizinan dari kementerian teknis dan PLN harus mendukung ini. Seperti pemerintah daerah Bali, Kementerian PU, dan Jasa Marga yang memperlancar proyek jalan tol di Bali," kata dia.

Dahlan berjanji akan berusaha meyakinkan perusahaan-perusahaan bermodal kuat untuk mengerjakan proyek ini, seperti perusahaan pelat merah bidang konstruksi. Sebab, perusahaan itu memerlukan proyek yang bisa  dikerjakan. "Seperti Wika (PT Wijaya Karya Tbk), PP (PT Pembangunan Perumahan Tbk), Waskita (PT Waskita Karya Tbk), dan Adhi Karya," kata dia.

Namun, menurut Dahlan, konsorsium itu harus mempunyai tujuan yang jelas. Yaitu untuk menangani masalah krisis listrik yang terjadi di Sumatera Utara akhir-akhir ini. Nantinya, pembangunan pembangkit listrik ini tidak hanya dilakukan di Sumatera Utara, tetapi juga di daerah lain di seluruh Indonesia.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya