Pemerintah Gagal Atasi Defisit Neraca Perdagangan?

Pelabuhan Peti Kemas Pelindo II Tanjung Priok, Jakarta
Sumber :
  • Antara/ Hermanus Prihatna
VIVAnews - Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa pada Juli 2013, perdagangan Indonesia masih merugi sebesar US$2,31 miliar. Secara kumulatif kerugian atau defisit neraca perdagangan dari Januari hingga Juli mencapai US$5,65 miliar.  
Bikin Silau, Harga Emas Antam Kembali Tembus Rekor Tertinggi

Membengkaknya defisit neraca perdagangan tersebut, yang menurut BPS itu dipicu impor minyak dan gas (migas), serta barang-barang pokok yang dibutuhkan masyarakat. 
Persebaya Bertekad Bangkit Lawan Persib

Tercatat, secara kumulatif defisit neraca perdagangan ini berdasarkan impor sebesar US$111,83 miliar, lebih besar dibanding kinerja ekspor sebesar US$106,18 miliar. Khusus bulan Juli, impor mencapai US$17,42 miliar dan ekspor US$15,11 miliar.
Beri Minuman Bekas ke Sus Rini, Perilaku Manner Nagita Slavina Jadi Sorotan

Kendati demikian, pemerintah memperkirakan bahwa defisit neraca perdagangan tersebut tidak akan berlangsung lama. Sebab, pemerintah telah mengeluarkan dalam mengatasi ancaman krisis ekonomi, termasuk di dalamnya untuk menekan defisit. 

Hal tersebut, ditegaskan Menteri Keuangan Chatib Basri, Senin 2 September 2013. Sehingga, dirinya optimistis bahwa defisit neraca perdagangan akan kembali turun seiring dengan implementasi empat kebijakan yang baru saja dikeluarkan pemerintah sekitar dua pekan lalu. "Jadi, Anda baru lihat dampaknya nanti dalam satu bulan. Atau, mungkin setelah dua bulan," kata dia di Gedung DPR RI, Jakarta.

Chatib menjelaskan, defisif neraca perdagangan akan kembali mereda pada triwulan III-2013. Bahkan, ditargetkan penurunannya akan mencapai 4,4 persen dari produk omestik bruto (PDB). "Angkanya mungkin baru kelihatan November. Nanti semua akan tercermin," ujarnya.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo juga sependapat bahwa pengaruh kebijakan yang diambil pemerintah masih perlu waktu untuk dilihat hasilnya. Apalagi, ini baru rilis data Juli, yang jelas arahnya sudah benar dan sesuai dengan defisit transaksi berjalan yang akan turun dari 4,4 persen dari PDB menjadi 3,4 persen pada triwulan tiga tahun ini. 

"Jadi, defisit perdagangan tersebut sudah diperhitungkan dalam perkiraan defisit transaksi berjalan," kata dia kepada VIVAnews. Artinya, dia menambahkan, BI optimistis defisit neraca perdagangan akan kembali stabil sejalan dengan turunnya kerugian transaksi berjalan.

Pendapat ekonom
Sementara itu, Chief Economist Strategy and Performance Management Division PT Bank Tabungan Negara Tbk, A. Prasetyantoko, menilai bahwa konsumsi bahan bakar minyak (BBM) yang tetap tinggi masih membebani impor dan menjadi pemicu membengkaknya defisit perdagangan. "Itu memang, dari awal volume (BBM)nya tidak akan turun. Kenaikan harga BBM waktu itu, cuma mengamankan fiskal," ujarnya kepada VIVAnews.

Defisit ini, menurutnya, selain karena faktor volume konsumsi BBM yang tinggi, ekspor RI juga turun karena permintaan global yang sedang turun. Sebab, selama ini Indonesia tergantung ekspor komoditas. Sedangkan siklus harga komoditas tidak menentu dan cenderung turun. "Jadi, impornya malah tambah, pangan, bahan baku, kita masih impor," jelas Prasetyantoko. 

Dia memperkirakan, defisit tersebut akan terus berlangsung hingga tahun depan (2014). Sebab, harga komoditas masih berfluktuasi. Selain itu, impor akan pangan dan BBM juga tetap tinggi.

Sedangkan Ekonom Citi Research, Helmi Arman, menyatakan bahwa ada dua paket kebijakan pemerintah Indonesia yang bisa berdampak langsung pada neraca perdagangan. 

Pertama, relaksasi kebijakan kuota ekspor hasil tambang dan mineral. Hal ini dapat membantu meningkatkan ekspor, mengingat volume ekspor bijih besi telah pulih sebagian usai dilakukan pembatasan yang dilakukan pada pertengahan 2012.

"Jika ekspor bijih besi dapat meningkat, misalnya sekitar 20-30 persen, pendapatan ekspor bisa meningkat US$100 juta hingga US$150 juta  per bulan," ujar Helmi dalam keterangan tertulis kepada VIVAnews.

Kedua, mengurangi impor solar hingga 10 persen. Jika 40 persen dari impor BBM adalah solar, diperkirakan penurunan 10 persen itu akan menghemat biaya impor sekitar US$130 juta per bulan.

Kedua kebijakan ini, menurut Helmi, apabila diterapkan bisa memberikan potensi dampak 0,3-0,4 persen terhadap peningkatan PDB pada basis tahunan. "Penghematan juga diimbangi dengan impor pangan yang yang lebih tinggi, seperti daging sapi dan produk hortikultura kuotanya dihapuskan," kata Helmi.

Selain itu, pemotongan pajak untuk industri pada karya dan berorientasi ekspor seiring dengan perbaikan tingkat upah minumum dipandang sebagai langkah yang tepat. "Manfaatnya nanti akan terasa pada investasi asing yang bersifat langsung dan ekspor," ujarnya.

Bank Indonesia juga diharapkan membuat kebijakan yang dapat memelihara cadangan devisa dan arus investasi masuk di pasar modal. Antara lain, dengan mengurangi batas pinjaman asing jangka pendek untuk memungkinkan lebih banyak investasi dalam rekening rupiah. 

Berapa cadangan devisa saat ini?
Berdasarkan data Bank Indonesia, pada akhir Desember 2012, cadangan devisa masih mencapai US$112,78 miliar, atau setara 6,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Namun, cadangan devisa itu terus menyusut pada bulan-bulan berikutnya. Pada akhir Januari 2013, cadangan devisa turun menjadi US$108,78 miliar atau setara 5,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Selanjutnya, cadangan devisa hingga akhir Februari 2013 mencapai US$105,2 miliar atau setara 5,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Cadangan devisa pada akhir Maret 2013 pun kembali turun menjadi US$104,8 miliar atau setara 5,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Pada akhir April 2013, cadangan devisa sempat naik dibandingkan bulan sebelumnya menjadi US$107,3 miliar, atau setara 5,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Namun, hanya berlangsung sebulan, cadangan devisa pada akhir Mei 2013 kembali turun menjadi US$105,1 miliar atau setara 5,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Cadangan devisa akhirnya tak mampu bertahan di atas US$100 miliar pada akhir Juni 2013. Pada periode itu, cadangan devisa tercatat hanya US$98,1 miliar, atau setara 5,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Sebulan kemudian, pada akhir Juli 2013, cadangan devisa kembali menyusut menjadi US$92,67 miliar, atau setara 5,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Jika diakumulasi sejak akhir Desember 2012 hingga Juli 2013, cadangan devisa sudah tergerus sebesar US$20,11 miliar atau sekitar Rp220,8 triliun.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya