Awas Bahan Berbahaya di Makanan Anda

Berburu Takzil Di Benhil
Sumber :
  • VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis
VIVAnews
Buka Puasa Bersama Wartawan, Irjen Sandi Bicara Pentingnya Peran Media Kawal Agenda Nasional
- Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menemukan produk tidak memenuhi syarat (TMS) pada penganan takjil selama Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri 2013 karena mengandung bahan pengawet dan pewarna berbahaya.

KPU Tolak Tanggapi Tudingan Nepotisme Jokowi ke Prabowo-Gibran

Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM, Roy Sparringga, Kamis 1 Juli 2013, menjelaskan bahwa dari 2.256 sampel makanan yang diambil dari penjaja tradisional, toko, swalayan dan tempat lain khusus menjual makanan buka puasa, ditemukan 297 sampel yang tak memenuhi syarat.
Jelang Hari Raya Idul Fitri, Persediaan BBM di Bali Masih Aman


"86,84 persen atau 1.959 sampel memenuhi syarat dan 297 sampel atau sebesar 13,16 persen yang tidak memenuhi syarat. Ini merupakan hasil pemantauan di seluruh daerah Indonesia," ujar Roy dalam jumpa pers di Jakarta.

Roy menjelaskan, jenis makanan buka puasa yang diuji adalah agar-agar, bakso, bubur, sirup, lauk-pauk, mie, es, makanan ringan, dan kudapan. Sekitar 40 persen kudapan makanan seperti gorengan tahu dan bakwan mengandung bahan berbahaya, diikuti oleh makanan ringan (17 persen), es/minuman (12 persen), mie (12 persen), lauk pauk (9 persen) sirup (4 persen) dan bubur (3 persen).

BPOM melakukan uji pangan berupa tes formalin, rhodamin B, sakarin, benzoat, methanyl yellow, dan siklamat pada sampling.

Hasilnya, kata Roy, ditemukan 13 persen makanan formalin, 12 persen mengandung rhodamin B, 4 persen mengandung boraks, 3 persen mengandung sakarin, 2 persen mengandung benzoat, dan 1 persen methanyl yellow. "Tidak ada produk yang mengandung siklamat," katanya.


Formalin ditemukan di berbagai makanan mie basah, sate, ikan, siomay dan es pisang ijo. Sementara boraks ditemukan di makanan seperti rumput laut, kerupuk, mie basah dan pempek. Pangan yang mengandung sakarin ditemukan di es campur dan es pisang ijo. Adapun penganan yang mengandung rhodamin B ditemukan di mutiara, pacar cina dan kolang kaling merah.


Dalam tiga tahun terakhir, Roy melanjutkan, temuan jajanan buka puasa yang mengandung bahan berbahaya mengalami penurunan. Pada 2011, jumlahnya ada 560 sampel atau 21,27 persen, pada 2012 turun jadi 464 sampel atau 18,29 persen, dan tahun ini sebesar 297 sampel atau 13,19 persen.


Dalam jangka waktu dekat, BPOM beserta Kementerian Kesehatan akan mengeluarkan surat keputusan yang meminta pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap bahan berbahaya.


"Ritel harus terdaftar dan diawasi bagaimana bahan berbahaya itu disalurkan dan jangan sampai bocor," kata Roy.


Ratusan ribu produk ilegal
Selain menemukan makanan takjil berbahaya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) juga menemukan berbagai produk makanan olahan yang tidak memenuhi ketentuan (TMK) sebanyak 171.887 produk senilai Rp6,87 miliar.


Roy Sparringga menjelaskan, kualifikasi TMK antara lain produk yang tidak memiliki izin edar, produk kedaluwarsa, produk rusak, dan produk tidak disertai label.


"Dari 171.887 produk, 76 persen tidak memiliki izin edar atau ilegal senilai Rp5,2 miliar, 15 persen produk kedaluwarsa senilai Rp1 miliar, 2,2 persen produk rusak senilai Rp156 juta, dan 0,02 persen produk tidak disertai label senilai Rp1,3 juta," kata Roy.


Untuk produk ilegal paling banyak ditemukan di daerah perbatasan dan pelabuhan seperti Batam, Pekanbaru, dan Aceh. Produk-produk itu berupa cokelat, minuman energi, minuman kaleng, dan kembang gula yang berasal dari Malaysia, Thailand, Singapura, Italia, dan Jerman.


Produk kedaluwarsa juga ditemukan di daerah yang jauh dari sentra produksi dan sulit dijangkau distribusi seperti Jayapura, Aceh, Kupang, Palangkaraya, dan Kendari. Produk yang paling banyak ditemukan adalah biskuit, bumbu instan, dan makanan ringan.


Adapun produk rusak ditemukan di daerah yang jauh dari sentral produksi dan distribusi. Selain itu, BPOM juga menemukan penanganan buruk selama transportasi dan penyimpanan seperti di Batam, Kendari, Aceh, Jambi, dan Lampung. Produk rusak itu berupa ikan kalengan, susu kental manis, dan buah dalam kaleng.


Terakhir adalah produk TMK yang tidak memiliki label. "Temuan ini banyak ditemukan dalam sentra industri rumah tangga pangan seperti di Surabaya dan Semarang," kata Roy.


Perhatikan sebelum membeli

BPOM meminta masyarakat lebih cermat dalam memilih dan membeli produk demi menghindari kerugian setelah mengkonsumsi produk-produk tersebut di atas.


Jika membeli produk makanan olahan, menurut Roy, hal utama yang harus diperhatikan masyarakat adalah penjelasan yang tertera pada label produknya.


Roy menuturkan bahwa salah satu temuan BPOM terhadap barang yang tidak layak adalah produk yang tidak memiliki label berbahasa Indonesia. Dengan adanya label yang tidak berbahasa Indonesia, konsumen akan kesulitan untuk mengetahui keterangan yang terdapat dalam produk itu.


"Kami tidak bisa memastikan produk itu aman atau tidak. Produk ini berisiko, karena tidak melewati proses
pre-market
," kata Roy.


Kedua, Roy melanjutkan, masyarakat harus mengetahui masa kedaluwarsa suatu produk penganan olahan. Dia berpendapat bahwa masyarakat sering melewatkan hal ini tatkala membeli penganan olahan.


"Kapan masa simpanannya? Masa kedaluwarsa itu menentukan kualitas dari produk itu. Kalau sudah lewat tanggalnya, mutunya akan jelek," kata Roy.


Itu adalah tips saat membeli pangan olahan. Lalu, bagaimana dengan makanan yang bukan panganan olahan? Badan pengawas ini memberikan contoh kepada masyarakat untuk membedakan makanan yang "berbahaya" karena mengandung  bahan pengawet, berpewarna rhodamin B, dan berpemanis buatan.


Untuk makanan berpewarna, BPOM mengisyaratkan masyarakat untuk tidak membeli makanan yang berwarna mencolok. "Misalnya mie basah, warnanya sangat mengkilap dan tidak lengket. Itu tidak tahan lama," kata Roy.


Sedangkan untuk makanan yang berpengawet, BPOM menyarakankan untuk mencermati bentuk dan teksturnya. Ada perbedaan makanan yang berformalin dan mengandung boraks dengan yang tidak. "Misalnya, tahu yang berpengawet itu kenyal, dan kering di permukaan," kata Roy.


BPOM juga meminta kepada masyarakat agar tidak membeli makanan yang mengandung bahan pengawet semacam itu. Karena zat-zat pengawet itu dalam kadar tinggi jika dikonsumsi dapat membahayakan kesehatan.


"Yang jelas, bisa sampai mengakibatkan kanker," kata Pelaksana Tugas BPOM, Hartatie Amal, di tempat yang sama.(np)


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya