Skenario Pembayaran KJS Berubah, Apa Sikap Jokowi?

Pasien KJS di Rumah Sakit Tarakan
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVAnews - Sistem klaim pembayaran tanggungan perawatan pasien jadi alasan sejumlah Rumah Sakit (RS) pelaksana program Kartu Jakarta Sehat (KJS) berniat mundur. Sebanyak 16 dari 92 RS peserta program KJS meminta sistem Indonesia Case Base Groups (INA CBGs) segera dievaluasi. Mereka tak sanggup menanggung beban tarif klaim yang nilainya jauh di bawah biaya perawatan.
Aniaya Pecalang di Bali, Polisi Tangkap Dua Bule Amerika

Atas keluhan ini, sesuai janjinya, Komisi E Bidang Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI memanggil kembali 16 RS itu. Para Direktur Umum belasan RS swasta itu diminta menjelaskan keberatan mereka selama program KJS berjalan di hadapan Dinas Kesehatan DKI, Kementerian Kesehatan dan PT Askes.
Kemenkominfo Gelar Kegiatan Chip In "Menjadi Warga Digital yang Cakap, Beretika dan Berdaya"

Dalam Rapat Dengar Pendapat, Kamis 23 Mei 2013, para perwakilan RS mengaku bingung dengan penerapan sistem ini. Mereka kewalahan dengan jumlah tagihan perawatan pasien KJS yang tidak sesuai dengan tarif klaim, hingga terpaksa nombok.
Mekanisme Sidang Sengketa Pileg 2024, MK Bagi 3 Panel Hakim

Ternyata bukan hanya pihak RS yang bingung, Anggota Komisi E DPRD Wanda Hamidah pun mempertanyakan sistem klaim INA CBGs kepada Dinkes DKI. Menurutnya, selama ini Komisi E tidak pernah menerima laporan Pemprov DKI menggunakan cara ini dengan menunjuk PT Askes sebagai rekanan program KJS. 

"Kami baru tahu ini setelah berlaku 1 April. Prosesnya bagaimana ini? Saya tidak tahu makhluk apa itu INA CBGs. Ini tidak  disosialisasikan Pemrov kepada kami di DPRD. Bagaimana sosialisasi ke masyarakat lain?" kata Wanda.

Wanda menilai wajar bila ada penolakan dari 16 RS atas program ini. Sebab, informasi yang diperoleh legislatif maupun pihak RS minim. Wanda khawatir situasi ini dapat memperburuk pelayanan kepada masyarakat, sekaligus menurunkan citra RS.

"Kami tidak bisa membandingkan karena informasi detail tidak bisa dapatkan. Kami tidak mau masyarakat miskin jadi kelinci percobaan BPJS ini," ujarnya.

Menjawab pertanyaan tersebut, Direktur Pelayanan PT Askes, Fajriadinur menjelaskan, bahwa sistem INA CBGs adalah tarif paket dalam program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) berdasarkan jenis penyakit atau diagnosis dan prosedur pelayanan yang berkaitan dengan mutu serta efektivitas pelayanan. Kebijakan ini juga untuk pengendalian biaya rumah sakit.

Pada paket ini, Pemprov DKI harus membayar premi asuransi kesehatan kepada PT Askes sebesar Rp23.000 per kepala per bulan. Namun, besaran premi ini dinilai tak layak. 

Kemudian, dalam sistem klaim INA CBGs, orang yang berobat dengan KJS memakai paket obat yang sudah ditentukan. Ini berbeda dengan sistem yang selama ini dianut oleh RS swasta, di mana biasanya RS menerapkan sistem pembayaran fee by service, yaitu pembayaran yang dihitung berdasarkan tindakan medis. Sistem ini diklaim RS swasta merugikan mereka, bahkan membuat mereka menombok biaya operasional.

"Jika biasanya RS menghitung biaya dari kunjungan dokter kepada pasien rawat inap (doctor visit), tindakan medis, dan jumlah resep, di sistem INA CBGs semua dihitung dalam satu paket," kata Fajriadinur.

Amal Sjaaf, Ketua Dewan Pengawas RSUD yang ikut menentukan besaran tarif INA CBG's, turut menjelaskan masalah pembiayaan ini. Menurutnya, pola tarif INA CBGs sesungguhnya sama dengan program yang lama. 

"Namun ada perubahan cara menghitung dan pembayaran saja. Tahun 2014 ini akan digunakan, sehingga sistem pembayaran dan penghitungan biaya jadi seragam secara nasional," terangnya.

Janji evaluasi dan sosialisasi

Dinas Kesehatan DKI Jakarta bersama dengan Kementerian Kesehatan berjanji akan memperbaiki sistem penghitungan INA CBGs yang dikeluhkan tersebut. 

Kepala Dinkes DKI, Dien Emawati menjelaskan, pihaknya telah bertemu dengan direksi 16 RS pelaksana KJS. Dalam pertemuan itu, kata dia, pihak RS meminta penjelasan soal pembiayaan INA CBGs yang dilaksanakan manajemen KJS dengan pembayaran melalui PT Askes. Terutama untuk rawat jalan dan rawat inap.

Dien melanjutkan, pihak RS juga meminta penghitungan kembali biaya ICU, ICCU untuk diaudit secara teknis. Begitu pula dengan tarif dari satu tindakan yang tidak ditanggung, seperti transfusi darah. Ini menyangkut kategori kelas rumah sakit itu sendiri, dari tipe A hingga D. 

Pada pertemuan Dinkes dengan Kemenkes Selasa 21 Mei 2013 lalu pun keluhan 16 RS yang mengundurkan diri dari program KJS juga sudah disampaikan pada pihak Kemenkes. 

"Saya sudah bertemu langsung dengan Dirjen. Dan kita tidak tahu begitu cepatnya respon pusat, sehingga kita langsung dipanggil. Dari itu, perkenankan kami meminta kepada pihak rumah sakit, untuk memberikan transparansi untuk masalah KJS," ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Dien pun menyampaikan beberapa kesepakatan yang dicapai dalam pertemuan dengan Kemenkes.

Pertama, membuat tim reaksi cepat untuk penanganan kisruh KJS di Jakarta. Tim ini akan mulai bergerak bulan depan, dan langsung dijadikan prioritas karena Jakarta menjadi laboratorium Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) 2014 dengan basis INA CBGs.

Kedua, memperbaiki pola tarif INA CBGs secara kontinyu. Pola tarif akan menyesuaikan pada standarisasi pelayanan dan obat yang digunakan rumah sakit.

Ketiga, menerapkan standarisasi tindakan medis terhadap pasien, terutama terkait penggunaan alat kesehatan yang mahal. Teknis soal ini akan dikendalikan oleh Kemenkes melalui Peraturan Kemenkes.

Keempat, menghitung kembali biaya Instalasi Gawat Darurat (IGD), rawat jalan, dan rawat inap. Semua itu akan disesuaikan dengan kategori rumah sakit. Sementara terkait alat-alat kesehatan yang menjadi rujukan selama ini juga akan dipertimbangkan

Kelima, mensosialisasikan kembali pola INA CBGs kepada rumah sakit  yang mundur dari KJS. “Semua RS itu sudah dipanggil Kemenkes di RS Fatmawati,” kata Dien.

Belasan RS bantah mundur

Rapat dengar pendapat di Komisi E DPRD DKI bukan hanya dimanfaatkan pihak RS untuk mencurahkan keluhan dan keberatan mereka terhadap sistem klaim KJS. Namun mereka juga mengklarifikasi berita pengunduran diri 16 RS yang terintegrasi dengan program andalan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo ini.

Presiden Direktur RS Husada Tedhy Djaja Ateng mengaku, pihaknya merasa bingung dengan pemberitaan yang selama ini menyatakan mundurnya beberapa rumah sakit. Rumor mundurnya RS, menurut dia, bukan saja membuat pihak rumah sakit bingung, namun juga masyarakat sebagai pasien.
 
"Terus terang kami merasa kaget, kami merasa syok dengan kabar mundurnya rumah sakit. Bagi kami, ini bukan saja merugikan kita (RS) tapi masyarakat luas sebagai pasien. Perlu dijelaskan, kita tidak mundur dari KJS," tegas Thedy.
 
Sebagian besar pimpinan RS yang hadir dalam rapat dengar pendapat tetap menyatakan mendukung program KJS. Hanya saja, pihak RS meminta sistem pembayaran INA CBGs ditinjau ulang.

Sementara, perwakilan RS MH Thamrin memastikan mundur dari program KJS sejak awal April 2013. Salah satu alasan mundurnya RS MH Thamrin adalah karena tidak sependapat dengan sistem pembayaran INA CBGs.
 
“Namun, kami bukan tidak mendukung program Pemprov DKI terhadap program KJS,” kata Abdul Barry di hadapan Anggota Komisi E DPRD DKI.
 
Keputusan itu, menurut dia, bukan tanpa perhitungan. Namun, setelah menghitung berdasarkan real cost yang dikeluarkan pihak rumah sakit untuk pelayanan program KJS tersebut, RS Thamrin merasa tidak siap untuk melanjutkan program tersebut.
 
"Karena kita berpikir setiap rumah sakit memiliki cost-nya masing-masing. Kita ingin sampaikan, real cost kami tidak bisa untuk menjalankan dengan pembayaran INA CBGs. Mungkin itu real cost-nya kita," ujarnya.

Sedangkan RS Admira menegaskan sejak awal tidak pernah resmi bergabung dalam program KJS. RS Admira baru akan bergabung jika INA CBGs segera diperbaiki oleh Pemprov DKI Jakarta.

"Kami menyatakan bersedia berpartisipasi dengan syarat persoalan dalam INA CBG's sudah dibereskan," ujar perwakilan RS Admira Chairulsjah Sjahruddin.

Sikap Jokowi

Cidera dalam tubuh KJS tak membuat Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo kecil hati apalagi goyah pada pendiriannya untuk tetap mempertahankan program yang sudah diperkenalkannya sejak kampanye Pilkada DKI 2012 lalu.

Mantan Wali Kota Solo ini justru akan membagikan 1,7 juta KJS sebagai bukti tindak kelanjutan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin dan rentan miskin di Ibu kota. Masih seperti sejak awal program ini dirancang, Pemprov DKI menargetkan pembagian 4,7 juta KJS kepada warga DKI yang telah terdata.

Jokowi bahkan menyatakan akan membagikan sendiri KJS itu di beberapa titik di wilayah Jakarta. "Saya akan keliling ke puskesmas-puskesmas," kata dia. 

KJS yang akan dibagikan itu, dijelaskan Jokowi akan dilengkapi dengan chip untuk mengontrol pemakaian kartu. Nantinya setiap puskemas akan dilengkapi alat pemindai atau scanner untuk mengecek keaslian KJS. Sehingga, KJS tidak bisa dipalsukan atau dipakai orang lain.

Scanner seharga Rp800 ribu akan disediakan Pemprov DKI. "Sangat murah. Bisalah kami sediakan di setiap puskemas."

Jokowi pun angkat bicara soal pro dan kontra sejumlah RS terhadap sistem KJS. Dia berkali-kali menyatakan KJS sangat diperlukan oleh warga DKI Jakarta. Maka dia pun berharap semua pihak, termasuk rumah sakit swasta dan Rumah Sakit Umum Daerah, mendukung agar KJS berjalan mulus.

Apabila ada keluhan dari RS, kata dia, seharusnya pihak RS menemui dirinya dulu, tidak begitu saja mengundurkan diri sebagai pelayan program KJS.

"Jadi jangan hanya gara-gara masalah untung dan rugi, tiba-tiba mundur. Harusnya bicara terlebih dahulu, menyampaikan secara riil apa keinginan mereka kepada kami?,” ujarnya.

Dia juga mengingatkan semua pihak untuk tidak menghambat pelaksanaan KJS. “Jangan coba-coba menghambat dengan cara-cara yang tidak baik. Kita harus punya cara yang baik. Berbicara dengan saya tidak, ketemu saya tidak, lantas memutuskan mundur,” tegasnya.

Jokowi mengatakan, akan tetap berjuang mati-matian demi kesuksesan KJS karena masyarakat Jakarta butuh pelayanan kesehatan. Manfaat KJS, menurutnya, terbukti dengan adanya lonjakan pasien KJS di rumah sakit. “Melonjaknya sampai 500 ribu pasien lebih, karena masyarakat yang ingin."
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya