Obituari

Perginya Da'i Sejuta Umat

Pemakaman KH Zainuddin MZ
Sumber :
  • VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis

VIVAnews – Dia muncul ketika Indonesia dilanda gelombang pasang dakwah Islam pada akhir 80an. Kata-katanya lugas, diserap awam tanpa perlu kening berkerut. Sepanjang 1990-an, anak Betawi itu menjadi ikon da’i paling poluler. Namanya jaminan bagi ceramah yang gayeng, dengan racikan banyolan, tapi menghujam ke sasaran.

Menlu Retno Marsudi Temui Wapres Klarifikasi soal Isu RI Akan Normalisasi Diplomatik Israel

Di masa orde baru, saat Majelis Ulama Indonesia mengirimkan ribuan da’i ke sekujur nusantara untuk satu gerakan “dakwah bil hal” pada akhir 80-an, tampaknya hanya seorang yang berhasil menjadi mahabintang. Dia adalah Zainuddin “emzet”. Selama berapa waktu banyak yang keliru menafsir "emzet" itu. Nama aslinya adalah Zainuddin Hamidy MZ. “MZ itu nama ayah saya, Turmudzy,” ujarnya suatu kali.

Lalu dia memang berkibar dengan panggilan KH Zainuddin MZ. Pada masa jayanya, tak ada masjid yang absen memutar kaset ceramahnya. Di berbagai kota, lautan manusia menyemut di lapangan. Mereka rela berjam-jam menunggu sang ustad tiba, dan berkhotbah. Kedatangannya dielu-elukan bak seorang pemimpin yang dirindukan.

Rupiah Mulai Menguat ke Level Rp 16.172 per Dolar AS

Kaset ceramahnya laris. Suara rekaman khotbahnya terdengar di semua sudut: dari kampung sempit dan kumuh, di bis antar kota, sampai di gedung mewah. Para pejabat gemar mengundangnya, walaupun tak jarang sindiran sang ustad membuat telinga mereka merah.

Dalam setiap tablig akbar, Zainuddin mampu menyihir massa. Diselingi zikir, kata-katanya seperti magnet. Setiap kali tampil di panggung, ratusan ribu orang dibuatnya mendadak senyap, atau tertawa serempak. Dia lalu dijuluki “Da’i Sejuta Umat”.

Skema Kredit Honda Stylo 160, Cicilan Mulai Rp1,1 Jutaan

Tiga singa

Lahir pada 2 Maret 1952, Zainuddin menjadi yatim pada usia dua tahun. Masa kecilnya kurang beruntung. Sewaktu SD, dia membantu pamannya berjualan rokok. Dia juga pernah menjadi kuli bangunan. Pada 1964, Zainuddin belajar di Perguruan Darul Ma’arif Cipete, Jakarta Selatan. Di sekolah itulah dia berjumpa dengan ulama Indonesia dan Mesir. Di sana juga dia belajar berpidato.

Selanjutnya, dia pernah kuliah di IAIN, Jurusan Perbandingan Agama, tapi tak selesai. Mungkin karena dia lebih berbakat sebagai pendakwah, Zainuddin lalu mengisi pengajian secara terbatas di berbagai musala dan masjid.

Karirnya sebagai da’i mendapat momen penting menjelang Pemilu 1977. Saat itu dia menjadi juru kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan muncul satu panggung dengan raja dangdut Rhoma Irama.  Seperti diakuinya, pengalaman itu membuatnya mengenali “watak massa”.

Rhoma waktu itu adalah magnet yang menarik massa. “Massa mudah terkena sugesti,” ujar Zainuddin. Dan, Zainuddin pun mulai menguasai rahasia di atas panggung itu. Dia bukan saja mubalig yang mampu membakar, atau menyejukkan hati. Lebih dari itu, Zainuddin piawai memadukan kehebatan tiga singa podium. Dia bisa meledak-ledak seperti Bung Karno, mengelus hati seperti Buya Hamka, atau tangkas berlogika gaya KH Idham Chalid.

Masuk politik

Bergabung di PPP, Zainuddin sebetulnya ingin menguji satu hal. “Saya penasaran mengapa partai berbasis Islam tidak memenangkan Pemilu," katanya waktu itu. Lalu, Zainuddin pun aktif berkampanye partai yang berlambang ka’bah itu. Hasil nya sangat signifikan, dan mempengaruhi dominasi Golkar. Tak ayal, kondisi itu membuat penguasa Orde Baru was-was.

PPP adalah juga wadah politik bagi warga nahdliyin. Sebagai warga NU, Zainuddin ingin menguatkan NU yang saat itu bagian dari PPP, setelah fusi partai yang dipaksakan rezim orde baru pada 5 Januari 1971. Selain NU, partai yang terpaks bergabung adalah Muslimin Indonesia (MI), Perti, dan PSII.

Tapi yang lebih penting adalah gurunya Idham Chalid, adalah bekas Ketua PB NU. Idham adalah juga seorang deklarator PPP.  Zainuddin mengaku lama nyantri di Ponpes Idham Khalid di Cipete. Dia belajar mengaji dengan Kyai Idham, dan mungkin juga menyimak cara sang kyai berpidato

Selebihnya, Zainuddin memang akrab dengan PPP. Tapi karena konflik internal partai pada masa 1990an itu, dia lalu mengambil jarak. Itu juga yang membuat pendukungnya melebar, dan meluas ke berbagai golongan. Sampai akhirnya politik berubah, dan kediktatoran orde baru jatuh, Zainuddin kembali digandeng PPP. Tapi, upaya sang da'i sejuta umat itu menjadi vote-getter agaknya tak begitu berhasil.  Partai itu kalah suara dari Golkar pada Pemilu 1999.

Pada 2002, Zainuddin bersama rekan-rekannya memutuskan keluar dari partai. Dia lalu mendeklarasikan PPP Reformasi. Saat itu, popularitas Zainuddin tak lagi terlalu berkibar. Pada 2003, PPP Reformasi berubah menjadi Partai Bintang Reformasi. Hingga 2006, Zainuddin masih menjadi ketua umum. Posisinya lalu digantikan Bursah Zarnubi.

Lepas dari politik, sang ustad pun lalu kembali menekuni dunianya: dakwah. Belakangan, dia rutin tampil di TVOne. Dalam dakwahnya yang terakhir, Minggu 3 Juli 2011, Zainuddin tampil dengan gayanya yang khas. Dia menganjurkan jihad melawan korupsi. “Tanpa korupsi, baru masyarakat kita bisa makmur. Sekarang sih mahmur, alias rumah dan sumur doang”.

Gayanya masih gayeng, plus racikan banyolan, dan tetap menghujam ke sasaran. Malam itu, misalnya, Zainuddin sempat melontar sindiran. Dia menghardik pemimpin yang kurang tegas melawan korupsi. "Pemimpin harus punya nyali. Kalau badan doang gedhe, nyali kaga punya, bobo aja, bobo," ujar Zainuddin. Para hadirin pun tergelak.

Pada Senin 4 Juli 2011 malam, selepas pulang dari luar kota, tubuh Zainuddin ambruk. Dia memang pengidap diabetes akut, dan juga menderita penyakit jantung. Malam itu juga dia dibawa ke Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan. Dia tergeletak. Esok harinya, Selasa 5 Juli 2011 pukul 10.15, dokter mengatakan jantungnya tak lagi berdetak.

Da’i sejuta umat itu pun pergi sudah. (np)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya